Kesepian menjadi masalah yang mendesak dan diakui pemerintah di berbagai negara sebagai tantangan kesehatan masyarakat. Jepang, misalnya, telah membentuk Ministry of Loneliness, sedangkan Amerika Serikat menyoroti pentingnya koneksi sosial. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa 25% lansia hidup dalam isolasi sosial dan 5-15% remaja mengalami kesepian kronis.
Penelitian terbaru dari Templeton World Charity Foundation dilakukan di delapan negara untuk memahami keterhubungan, keterasingan, dan rasa memiliki. Temuan awal menunjukkan bahwa kesepian tidak selalu berarti “sendirian” tetapi juga dapat menggambarkan perasaan terputus dari diri sendiri. Istilah “epidemic of loneliness” mencerminkan keadaan ini, di mana kesepian telah dianggap sebagai epidemi, terutama di Amerika Serikat.
Kesepian juga terkait erat dengan kesehatan mental, dimana orang dewasa yang merasakan kesepian cenderung mengalami kecemasan dan depresi. Para peneliti menyoroti kompleksitas hubungan antara kesepian, kecemasan, dan depresi yang saling memperkuat satu sama lain. Untuk mengatasi masalah ini, perubahan budaya lebih luas diperlukan, dengan masyarakat didorong untuk membentuk budaya peduli dan berorientasi pada pelayanan kolektif.
Menumbuhkan koneksi sosial yang bermakna melalui aktivitas bersama dianggap sebagai langkah awal yang penting untuk mengatasi kesepian, sehingga membangun rasa tujuan hidup serta meringankan beban gangguan mental. Pemimpin baik dari sektor publik maupun swasta juga diminta untuk memperkuat infrastruktur sosial yang memungkinkan masyarakat menjalin hubungan yang lebih dalam dan berarti.