Pernikahan usia dini merupakan praktik yang masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia meskipun hukum Indonesia secara jelas melarang pernikahan anak. Salah satu contoh terbaru terjadi di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, di mana seorang anak perempuan berusia 14 tahun menikah dengan seorang pria berusia 16 tahun. Praktik pernikahan usia dini ini telah dilaporkan ke Polres Lombok Tengah pada tanggal 24 Mei 2025 oleh Lembaga Perlindungan Anak Mataram. Pernikahan usia dini ini membawa dampak negatif pada kesehatan mental dan fisik bagi kedua pengantin muda dan anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut. Hal ini dapat meningkatkan risiko gangguan mental, komplikasi kehamilan, penyakit menular seksual, dan bahkan kanker serviks. Selain itu, tekanan sosial dan keterbatasan ekonomi juga dapat memperburuk kondisi kesehatan.
Pernikahan usia dini berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan mental yang serius bagi anak-anak yang menikah pada usia muda. Mereka sering mengalami trauma, krisis percaya diri, dan emosi yang belum matang. Pasangan yang menikah sebelum usia 18 tahun juga menghadapi risiko depresi, gangguan kecemasan, PTSD, serta isolasi sosial dan kesepian akibat tekanan sosial dan tanggung jawab yang belum siap dihadapi. Sisi biologis juga menjadi pertimbangan penting, di mana tubuh anak perempuan yang belum matang secara fisik rentan terhadap risiko kesehatan akibat kehamilan dan persalinan dini.
Pernikahan usia dini juga meningkatkan risiko infeksi menular seksual seperti HIV/AIDS, gonore, dan klamidia, serta risiko kanker serviks akibat HPV. Dampak sosial dan ekonomi seperti tekanan untuk segera memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga serta keterbatasan pendidikan dan ekonomi juga dapat memperburuk kondisi kesehatan mental dan fisik. Oleh karena itu, penting untuk terus memberikan edukasi mengenai risiko pernikahan usia dini dan mendorong pembatasan praktik ini demi kesejahteraan kedua belah pihak.